
Bab 8: Aku Ingin Mencintai Tanpa Takut Ditinggal
Selama ini, aku pikir mencintai artinya kehilangan kendali. Dan kehilangan kendali berarti memberi seseorang kesempatan untuk menghancurkan aku dari dalam. Karena itu, aku memilih diam. Menjaga jarak. Tersenyum, tapi tidak membuka hati.
Tapi suatu hari, aku melihat pasangan tua yang duduk berdampingan di taman, diam saja, hanya menikmati sore. Dan entah kenapa, dadaku terasa hangat. Mungkin karena aku tahu, cinta tidak harus selalu ribut. Tidak harus selalu berapi-api. Cinta bisa setenang itu. Dan setenang itulah yang aku cari.
Aku mulai bertanya pada diriku sendiri:
Kalau suatu hari aku jatuh cinta lagi, apakah aku harus takut?
Apakah aku sanggup mencintai, tanpa menyiapkan diri untuk ditinggal?
Jawabannya belum tentu, tapi aku tahu sekarang: aku ingin mencoba.
Bukan untuk membuktikan apa pun. Tapi karena hatiku sudah terlalu lama kosong dan dingin. Dan aku rindu—bukan pada seseorang, tapi pada rasa. Pada detak pelan yang muncul saat seseorang mengingatkanmu minum air. Pada suara yang menenangkan saat kamu merasa dunia terlalu bising.
Aku tidak mencari orang yang sempurna. Aku hanya ingin seseorang yang berani tinggal, ketika dunia terasa berat. Seseorang yang bisa berkata, “Kita jalanin bareng, pelan-pelan.” Dan aku ingin bisa berkata yang sama, tanpa takut suatu hari aku ditinggal diam-diam.
Kalau nanti aku jatuh cinta, aku ingin cinta yang tidak memaksaku jadi orang lain.
Aku ingin cinta yang bisa berdamai dengan masa laluku.
Yang tidak buru-buru.
Yang tidak banyak janji.
Tapi nyata.
Hangat.
Dan jujur.
Dan kalau suatu hari orang itu datang, aku harap aku cukup berani untuk membuka pintu.
Karena sekarang… aku tidak lagi ingin hidup dengan hati tertutup rapat.
Aku ingin mencintai,
Tanpa takut ditinggal.