Bab 4: Mungkin Gagal Jadi Dewasa Adalah Caraku Menemukan Diri Sendiri

Aku duduk di taman kecil belakang rumah kontrakan, ditemani suara sore yang pelan dan bau tanah basah setelah hujan semalam. Ada damai yang aneh, seperti pelukan tak kasat mata yang bilang, “Kamu nggak harus buru-buru.”


Beberapa hari terakhir aku mulai pelan-pelan membiarkan diriku bernapas. Bukan karena semuanya sudah membaik, tapi karena aku mulai menerima kalau tidak apa-apa jika semuanya belum baik.


Aku pikir selama ini aku harus mencapai sesuatu untuk dianggap “dewasa.” Harus punya pekerjaan tetap, pasangan hidup, tabungan, rencana lima tahun ke depan. Tapi kenyataannya? Aku cuma punya diriku sendiri… dan sebuah hati yang sedang belajar pulih.


Dulu aku takut banget disebut gagal. Takut dibilang nggak serius hidup. Tapi sekarang, aku justru merasa paling jujur saat aku mengakui bahwa aku belum tahu apa-apa. Bahwa aku masih belajar, dan mungkin akan terus belajar sepanjang hidupku.


Dan kamu tahu? Itu tidak apa-apa.


Ada sesuatu yang indah dalam kejujuran yang tenang. Dalam menerima bahwa hidup bisa berantakan dan tetap layak dijalani. Dalam menyadari bahwa tidak semua orang berjalan dengan kecepatan yang sama, dan aku tidak perlu terus membandingkan langkahku dengan langkah mereka.


Hari ini, aku menulis di buku kecil itu lagi. Bukan tentang mimpi besar, tapi tentang hal-hal kecil yang ingin aku jaga:

• Aku ingin tetap bisa mendengarkan diriku sendiri.

• Aku ingin tetap jujur tentang apa yang aku rasakan.

• Aku ingin tetap percaya, meski sering lelah.


Mungkin… gagal jadi dewasa bukan akhir.

Mungkin itu justru awal dari perjalanan paling penting—menemukan siapa aku sebenarnya, di luar ekspektasi dunia.


Aku menatap langit yang mulai berubah warna. Tidak cerah, tidak juga mendung. Tapi cukup. Seperti aku hari ini. Tidak sempurna, tidak pula selesai. Tapi cukup. Dan itu, untuk pertama kalinya, terasa cukup indah.