
Bab 7: Aku Belajar Percaya Lagi, Tapi Pelan-Pelan
Aku pernah merasa nyaman hidup sendirian. Bukan karena aku nggak suka orang lain, tapi karena terlalu sering berharap justru bikin aku capek sendiri. Jadi aku mulai membatasi—pertanyaan, percakapan, bahkan tawa. Seolah-olah semakin sedikit yang tahu aku, semakin aman aku rasanya.
Tapi kenyataannya…
Kesepian itu tidak pernah benar-benar hilang. Dia hanya diam di pojokan, menunggu malam paling sunyi untuk datang memelukku erat-erat.
Aku mulai menyadari, hidup ini terlalu luas untuk dijalani sendirian terus. Bukan berarti harus selalu dikelilingi orang, tapi… bukankah menyenangkan kalau ada satu-dua orang yang benar-benar melihat kita, mendengar tanpa menghakimi, dan hadir tanpa diminta?
Beberapa waktu lalu, aku mencoba membalas pesan seorang teman lama. Bukan obrolan besar—cuma menanyakan kabar dan membahas film yang dulu sering kami tonton bareng. Tapi entah kenapa, rasanya seperti membuka jendela kamar setelah lama tertutup. Angin kecil yang masuk pun terasa seperti hadiah.
Aku juga mulai ikut kelas kecil di sudut kota—kelas melukis air, katanya. Di sana aku nggak harus bicara banyak. Cukup datang, duduk, dan membiarkan warna berbicara. Tapi dari situ, aku mulai mengenal wajah-wajah baru. Dan ternyata… dunia tidak seburuk yang aku pikirkan.
Aku masih takut kadang. Masih merasa canggung. Masih suka mundur kalau terlalu ramai. Tapi sekarang aku tahu: membuka diri bukan berarti mengorbankan diriku.
Itu hanya berarti… aku percaya. Sedikit demi sedikit.
Aku percaya bahwa tidak semua orang akan pergi.
Aku percaya bahwa aku layak didengar.
Aku percaya bahwa hatiku bisa pulih, bahkan setelah retak berkali-kali.
Dan pelan-pelan, aku mulai membiarkan dunia mengenalku lagi. Bukan versi palsu yang kuat terus… tapi aku yang sebenarnya. Yang rapuh tapi berani. Yang takut tapi tetap mencoba.