Bab 2: Aku Kangen Diriku yang Dulu Ceria dan Penuh Harapan

Kadang, aku duduk diam dan membayangkan versi diriku yang dulu. Cewek yang penuh semangat, yang bangun pagi dengan rencana-rencana hebat di kepala, yang percaya kalau dunia ini penuh kemungkinan. Cewek itu suka nulis mimpi di buku kecil, sambil senyum-senyum sendiri karena yakin suatu hari semuanya bakal jadi kenyataan.


Tapi sekarang… rasanya aku bahkan lupa gimana caranya berharap.


Buku kecil itu masih ada. Tersimpan di laci lemari, agak berdebu dan penuh coretan masa lalu. Aku sempat membukanya tadi malam, entah kenapa. Isinya bikin dadaku sesak—tulisan-tulisan polos yang penuh keyakinan. Aku baca satu persatu sambil menahan air mata, karena cewek yang nulis semua itu… kayaknya bukan aku lagi.


Aku rindu dia. Rindu aku yang dulu.


Sekarang aku bangun pagi bukan karena semangat, tapi karena kewajiban. Bukan untuk mengejar impian, tapi untuk bertahan hidup. Aku kerja bukan karena aku suka, tapi karena harus bayar sewa kos dan tagihan listrik. Kadang aku bahkan nggak tahu kenapa aku ngelakuin semua ini. Apa tujuannya?


Malam-malam, saat suasana udah sunyi dan lampu kamar cuma redup, itu waktu paling jujur. Waktu di mana aku bisa benar-benar merasakan seberapa lelahnya aku. Bukan cuma secara fisik… tapi batin juga. Ada perasaan hampa yang sulit dijelaskan. Kayak aku hilang di tengah hidupku sendiri.


Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang diam-diam masih nyala kecil. Entah dari mana, tapi aku tahu, aku belum sepenuhnya padam.


Aku ingin kembali mengenal diriku. Aku ingin pelan-pelan mendekati lagi versi diriku yang dulu… atau mungkin menciptakan versi baru yang lebih jujur dan damai. Versi yang nggak harus selalu kuat, tapi juga tahu kapan harus berhenti dan menangis. Versi yang tahu bahwa gagal bukan akhir dari segalanya.


Aku mulai sadar, mungkin ini bukan tentang kembali jadi diriku yang lama. Mungkin ini tentang menerima siapa aku sekarang, dan memberi ruang untuk jadi seseorang yang baru. Seseorang yang nggak selalu tahu arah, tapi tetap mau melangkah.


Karena ternyata, kehilangan diri sendiri bukan berarti aku nggak bisa menemukannya lagi. Mungkin aku hanya perlu waktu. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku ingin memberi waktu itu untuk diriku sendiri.