Bab 3: Ada Suara Kecil Dalam Diriku yang Tidak Pernah Sepenuhnya Diam

Malam ini, aku mematikan lampu kamar lebih awal dari biasanya. Bukan karena ingin tidur, tapi karena aku ingin diam. Aku ingin tahu, apakah ketika dunia berhenti berbicara, aku bisa mendengar diriku sendiri?


Dan ternyata… ada suara kecil di dalam sana.


Bukan suara yang memberiku solusi. Bukan juga yang langsung membuat semuanya terasa lebih ringan. Tapi suara itu… seperti bisikan lembut yang sudah lama berusaha bicara, tapi selalu tenggelam di antara kekhawatiranku sendiri.


“Kamu nggak apa-apa kok kalau belum tahu arah. Kamu cuma manusia.”


Aku nggak tahu kenapa kata-kata itu muncul malam ini. Tapi aku mendengarnya jelas. Mungkin karena aku sudah cukup lelah untuk berhenti menuntut diri jadi sempurna. Mungkin karena, akhirnya, aku memberi ruang untuk jujur tanpa merasa bersalah.


Selama ini aku terlalu sibuk membandingkan diriku dengan orang lain. Sibuk menyesali pilihan-pilihan yang kuanggap salah. Sibuk menyalahkan diri sendiri karena nggak bisa jadi seperti versi ideal di kepala orang-orang.


Padahal, aku lupa—aku juga punya hak untuk pelan-pelan. Untuk salah. Untuk jatuh, bahkan berkali-kali.


Suara kecil itu terus bicara, dan aku mulai percaya. Bahwa mungkin, luka yang aku bawa bukan tanda kelemahan. Mungkin justru itu yang membentukku jadi manusia yang lebih penuh rasa. Lebih peka. Lebih tahu apa artinya menjadi rapuh, tapi tetap memilih berdiri.


Aku mulai bertanya, untuk pertama kalinya dengan lembut:

“Kalau hari ini nggak harus sempurna, apa yang bisa aku syukuri?”


Dan anehnya, aku bisa menyebut beberapa hal. Udara pagi tadi yang segar. Senyum tukang sayur di depan gang. Satu lagu lama yang tak sengaja aku putar ulang dan entah kenapa menenangkan.


Mungkin itu hal-hal kecil. Tapi mungkin, hidup memang dibangun dari yang kecil-kecil.


Aku tahu proses ini nggak instan. Aku tahu besok mungkin aku akan merasa kosong lagi. Tapi sekarang aku tahu, ada bagian dalam diriku yang nggak pernah sepenuhnya menyerah. Suara kecil itu, meski pelan, tetap ada.


Dan selama dia masih bersuara… aku masih punya harapan.