Bab 6: Aku Tidak Lagi Takut Membayangkan Masa Depan

Dulu aku takut sekali membayangkan masa depan. Rasanya seperti sedang membuka pintu ke ruangan gelap, lalu disuruh masuk sendirian. Dan karena aku tidak bisa melihat apa pun, aku memilih diam di ambang pintu.


“Ngapain mikirin masa depan kalau hari ini aja belum bisa dijalani dengan benar?”

Itu kalimat yang sering kuucapkan ke diri sendiri. Kalimat yang lama-lama jadi pembenaran buat tetap di tempat.


Tapi akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berubah. Bukan karena hidupku jadi lebih jelas. Tapi karena aku mulai belajar berdamai dengan ketidakjelasan itu.


Aku mulai membayangkan masa depan… tapi bukan yang sempurna.

Aku membayangkan sebuah pagi yang biasa: aku bangun, membuka jendela, dan merasa cukup. Aku membayangkan diriku duduk di ruang kerja kecil dengan tanaman-tanaman yang tumbuh liar tapi indah. Ada secangkir kopi, ada buku-buku, dan ada damai.


Aku tidak lagi membayangkan pencapaian. Aku membayangkan rasa.

Rasa tenang. Rasa nyaman dengan diri sendiri. Rasa utuh, bahkan ketika tidak semuanya lengkap.


Aku tidak tahu kapan itu akan tercapai, dan entah akan seperti apa bentuk nyatanya nanti. Tapi aku mulai percaya bahwa membayangkan masa depan bukan lagi sumber kecemasan, tapi bentuk harapan.


Dan harapan kecil itu…

Cukup untuk membawaku melangkah.

Satu hari lagi.

Satu bab lagi.

Satu versi yang lebih baik dari diriku yang kemarin.